Hidup Minimalis ala Orang Jepang



Usai sudah akhirnya membaca buku Goodbye, Things Hidup Minimalis ala Orang Jepang karangan Fumio Sasaki. Buku yang dibeli tahun lalu ini dan pernah saya review sedikit di blog saya yang satunya.

Klik link ini: Menjadi Pribadi Minimalis

Buku yang menceritakan kisah Sasaki yang menerapkan hidup minimalis. Dimulai dari membuang baju, buku, dan berbagai barang yang ia miliki hingga barang yang ia miliki memang benar-benar barang yang ia butuhkan.

Ia pun memutuskan untuk pindah ke apartemen yang lebih kecil. Dari yang tadinya luas 30 meter persegi menjadi luas 25 meter pesegi. Lebih kecil 5 meter persegi dari apartemen sebelumnya. Bahkan ia merasa apartemen ukuran 25 meter persegi ini masih terasa luas.  

Ia mendeklarkan dirinya, jika ia harus pindah apartemen, ia hanya butuh waktu 20-30 menit untuk beberes. Saking minimalisnya barang yang ia miliki.

Berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya butuh waktu seharian penuh untuk beberes pindah rumah, bahkan ada yang butuh waktu berhari-hari. Saking banyaknya barang yang dimiliki. Butuh pula 1-2 truk untuk yang tinggal di rumah kontrakan. Beda lagi dengan yang tinggal di rumah gedongan.

Mengapa mesti hidup minimalis?

Sasaki menceritakan ketika ia menjalani hidup minimalis, kebahagian muncul. Apartemen yang hanya 25 meter terasa luas baginya. Barang-barang yang ia punya dapat ia rawat dengan sebaik-baiknya. Komunikasi dengan orang-orang disekitarnya menjadi lebih dalam. Dan ia merasa bersyukur atas apa yang ia punya saat ini.

Banyak orang yang selalu merasa kurang. Sudah punya motor 1 ingin puya motor 2, sudah punya hp android, ingin puya apple. Sudah punya mobil 1 ingin tambah lagi. Selalu saja kurang. Padahal belum tentu, ketika kita membeli barang itu, bukan barang yang memang benar-benar kita butuhkan.

Sasaki menghilangkan rasa yang serba kekurangan menjadi serba berkecukupan. Gaji 14 juta perbulan di Jepang dirasanya sudah sangat cukup. Barang-barang koleksinya dari buku, kamera dan hal-hal lain ia keluarkan, ia jual, ia berikan kepada orang lain atau ia buang karena memang sudah tidak berfungsi.

Apartemennya sepi dari barang-barang perintilian. Mungkin barang-barang itu biasa ada di rumah-rumah di Indonesia. Tujuannya untuk menjadi koleksi, memperindah rumah yang akhirnya ketika jumlahnya sudah melebihi kapasitas akan nyempit-nyempitin doang.

Ia juga merasa dengan hidup minimalis pengeluaran lebih hemat dan ia bisa menabung lebih banyak bahkan mengalihkan penghasilannya untuk keperluan lain yang lebih produktif seperti menjadi donatur, investasi dan hal lain sebagainya.

Hidup minimalis juga menjadikan hidup kita berperan dalam menjaga ekosistem. Kita bisa menghasilkan limbah yang lebih sedikit dari hidup berlebihan.

Bisakah itu kita praktikan?

Bisakah itu kita praktikan, atau saya praktikan. Sulit rasanya jika kita masih memiliki rasa memiliki barang yang banyak membuat kita merasa lebih baik, lebih gagah, lebih kaya, dll. Padahal Rasulllah mengajarkan terutama kepada umat muslim untuk hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan. Sebagian harta kita milik juga orang lain disekitar kita.

Jadikan harta itu hanya digenggaman tangan bukan di hati.

Komentar