Belajar Menjadi Guru Abad 21



Saat Jepang menyerah terhadap sekutu karena kota Hiroshima dan Nagasaki hancur di bom pada tahun 1945, Kaisar Hirohito pemimpin Jepang saat itu mengumpulkan semua jenderal yang masih hidup dan menanyakan kepada mereka "Berapa jumlah guru yang tersisa?" Para jenderal pun bingung dan mereka menegaskan kepada Kasiar bahwa mereka masih mampu melindungi kaisar tanpa adanya guru.



Namun Kaisar kembali berkata, "Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam strategi dan senjata perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak belajar, bagaimana bisa kita akan mengejar mereka? Kumpulkan semua guru yang tersisa di pelosok ini, karena kepada mereka sekarang kita akan bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan." 

Sepotong cerita tersebut menandakan bahwa betapa pentingnya dan bernilainya guru. Guru adalah ujung tombak sebuah kemajuan bangsa. Betapa beratnya amanah yang dibebankan seorang guru untuk mendidik generasi muda agar menjadi sosok yang mampu memberikan kebermanfaatan bagi dirinya, keluarganya, agama, bangsa dan negaranya.

Guru adalah profesi yang tak terbayangkan sebelumnya bagi saya untuk menjalaninya. Saat SD atau SMP memang saya disarankan oleh orang tua untuk menjadi guru. Selain guru itu adalah profesi yang mulia, bekerja menjadi guru itu jam kerjanya lebih luang. Masuk jam 7 pagi pulang jam 3 sore. Kemudian saat liburan sekolah, ikut libur, akan lebih banyak waktu untuk keluarga. Namun saat itu tak ada keinginan sekalipun bagi saya untuk menjadi guru.

Namun ketika memasuki jenjang kuliah, ada tawaran dari kakak kelas watu SMA yang membutuhkan seorang guru privat. Alhasil sejak saat itu saya mulai mengajar privat untuk tingkat SD, SMP dan SMA. Untuk SD dan SMP saya bisa mengajar semua mata pelajaran. Tetapi untuk SMA, hanya pelajaran IPA terutama Biologi, karena memang itu jurusan kuliah saya. Kemudian selain privat, saya pun mencoba mengajar di bimbingan belajar. Mengajar di kelas kecil, dari 5-15 orang per kelas. 

Setahun setelah lulus kuliah, saya pun mulai merambah ke sekolah. Ini karena permintaan ibu. "Cobalah cari tempat kerja yang lebih jelas dan waktunya jelas" katanya. Maklum saat lulus kuliah memang kerjaan di privat dan bimbel membuat saya tidak seperti orang kerja pada umumnya yang masuk pagi dan pulang sore hari. Setiap hari saya mulai pergi jam 2 siang dan pulang sekitar jam 8 malam. Kemudian kadang pergi ke beberapa event blogger yang mulai saya tekuni saat itu. 

Menuruti perkataanya, saya pun diterima di salah satu SMA swasta di Jakarta. Sebagai orang yang kuliah di bukan jurusan pendidikan, membuat saya agak canggung diawal ketika berkecimpung di sekolah. Walaupun sebelumnya saya telah memiliki pengalaman mengajar privat dan bimbel.

Kurang lebih sudah dua tahun, saya menjadi guru sekolah. Ada banyak hal yang mesti dipelajari untuk menjadi guru. Jika berdasarkan Undang-Undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 ayat 1, kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi guru.



Dari 4 kompetensi tersebut, apakah sudah tercapai? Pastinya saya merasa belum. Masih banyak hal yang saya pelajari. Apalagi tantangan mendidik anak zaman sekarang semakin kompleks. Dimana anak-anak sekarang sudah mengenal teknologi sejak dilahirkan. Bahkan bayi pun mau makan atau berhenti nangis jika dikasih gawai (handphone), di kasih tontonan youtube, ia akan diam dan anteng.

Setelah mulai beranjak besar, masuk SD, SMP dan SMA. Gawai mungkin sudah dianggap menjadi bagian keluarga baginya atau bisa jadi bagian tubuhnya. Jika sehari tanpa gawai, maka hidupnya tidak nyaman. Ada yang hilang dari dalam dirinya. Hal ini menjadi tantangan bagi guru bagaimana bisa mendidik anak di zaman digital seperti sekarang ini.
Penelitian dari Lembaga Riset Childwise, ditahun 2015 anak-anak menggunakan gawai 6,5 jam.  Remaja laki-laki menghabiskan 8 jam perhari dan anak perempuan berusia 8 tahun menghabiskan 3,5 jam.
Sedangkan penelitian di Indonesia yang dilakukan KataData, penggunaan gawai mencapai 371,4 juta pengguna atau 142 persen dari total populasi sebanyak 262 juta jiwa. Artinya, rata-rata setiap penduduk memakai 1,4 gawai karena satu orang terkadang menggunakan 2-3 kartu gawainya.

Saat ini, menjauhi gawai dari anak-anak sepertinya menjadi hal yang sudah tidak lagi relevan. Cara yang terbaik menurut saya adalah mengatur penggunaan gawai bagi anak-anak. Kapan saja gawai itu bisa digunakan dan kapan tidak boleh digunakan.

Contohnya saat mengajar di kelas, ada saatnya saya melarang anak-anak untuk menggunakan gawai dan ada saatnya saya menggunakan gawai dalam pembelajaran. Gawai itu bagaikan pisau. Jika digunakan dalam kebaikan, maka akan memiliki kebermanfaatan. Begitu juga sebaliknya, jika digunakan dalam keburukan, maka akan menyebabkan banyak kerugian.

Maka Apa yang Harus dilakukan Seorang Guru Abad 21?


Guru abad 21 harus mampu membuat konten yang menarik, baik dalam bentuk tulisan ataupun dalam bentuk video. Anak-anak zaman sekarang butuh konten-konten yang baik dan bermanfaat. Sebagai seorang guru, tidak bisa hanya melarang siswa nya menonton atau membaca hal-hal yang menarik baginya namun kurang baik, bahkan mengajak kepada tindak kekerasan, pelecehan dan hal yang tidak baik lainnya.

Beruntung saya memiliki teman-teman komunitas blogger, salah satunya ISB (Indonesia Social Bloggerpreneur). Bergabung bersama teman-teman yang semangat dalam membuat konten tulisan dan video membuat saya terbawa dan terjaga dalam semangat yang sama. Dan ketika ODOP dari ISB akan dijalankan kembali, saya langsung klik ikut. 

Tantangan menulis satu hari satu postingan tulisan akan saya jalankan sebagi pelecut semangat dalam membuat konten. Berbagai pelatihan dan diskusi tentang kepenulisan juga saya ikuti untuk mengasah kemampuan menulis. Dan hal yang masih cukup sulit bagi saya adalah membuat konten video. Secara skill saya memang masih sangat kurang, baik dalam pengambilan gambar, bergaya di depan kamera dan editing video. Beberapa kali saya mengikuti workshop tentang membuat konten video, terasa masih sangat kurang.

Khusus di bulan ini, saya sudah mengikuti dua kali workshop tentang membuat video. Pertama yang diadakan oleh Pustekom Kemdikbud dan Yayasan Dharma Pertiwi tentang bagaimana membuat video pembelajaran yang menarik bagi siswa dan yang kedua dari komunitas blogger. Memang butuh latihan dan konsistensi agar kemampuan membuat video semakin meningkat.

Jadi jika ditanya, apa yang skill yang sedang ditekuni dan mulai diasah saat ini?

Maka jawabannya, menjadi guru abad 21 yang mampu membuat konten tulisan dan video yang bermanfaat bagi orang banyak. 


Komentar

Posting Komentar